Jumat, 02 Mei 2014

SEMBAHYANG AGAMA HINDU

SEMBAHYANG DALAM AGAMA HINDU


         PENGERTIAN SEMBAHYANG

Salah satu hakekat inti ajaran agama adalah sembahyang. Menurut kitab Atharwa Weda XI. 1.1, unsur iman atau Sraddha dalam Agama Hindu meliputi:
(1) Satya,
(2) Rta,
(3) Tapa,
(4) Diksa,
(5)Brahma dan
(6) Yajna.
Dari keenam unsur iman di dalam Agama Hindu menurut kitab Atharwa Weda itu, dua ajaran terakhir termasuk ajaran sembahyang (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:12).

Sembahyang terdiri atas dua kata, yaitu:
(1) Sembah yang berarti sujud yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dengan tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran baik dengan ucapan kata-kata maupun tanpa ucapan, misalnya hanya sikap pikiran.
(2) Hyang berarti yang dihormati atau dimuliakan sebagai obyek dalam pemujaan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:13). Jadi Sembahyang adalah suatu bentuk kegiatan keagamaan yang menghendaki terjalinnya hubungan dengan Tuhan, dewa, roh atau kekuatan gaib yang dipuja, dengan melakukan kegiatan sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa

Di dalam bahasa sehari-hari kata sembahyang atau “mebhakti” atau “maturan”. Disebut “muspa” karena dalam persembahyangan itu lazim juga dilakukan dengan persembahan kembang (puspa). Disebut “mebhakti” karena inti dari persembahan itu adalah penyerahan diri setulus hati tanpa pamrih kepada Hyang Widhi. Demikian pula kata “maturan” yang artinya mempersembahkan apa saja yang merupakan hasil karya sesuai dengan kemampuan dengn perasaan yang tulus ikhlas, seperti bunga, buah-buahan, jajanan, minuman dan lain-lain (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:13). Mangku Linggih, pemangku di Pura Parahyangan Jagat Kartta Gunung Salak Bogor, menambahkan makna maturan sebagai wujud syukur atas rejeki yang diberikan Hyang Widhi, sehingga kita wajib mempersembahkan/menghaturkan pemberian beliau terlebih dahulu. Setelah sembahyang baru kita “ngelungsur (prasadam)” apa yang telah kita haturkan, seperti canang, buah-buahan, dan sebagainya.

Menurut Ketut Wiana (2005:49) salah satu Manfaat Sembahyang adalah untuk memelihara kesehatan. Selain pikiran menjadi jernih, sikap-sikap sembahyang seperti asana , padmasana, siddhasana, sukhasana, dan bajrasana) membuat otot dan pernafasan menjadi bagus.


Selain untuk kesehatan, bersembahyang dan berdoa juga mendidik kita untuk memiliki sifat ikhlas karena apa yang ada di dalam diri dan di luar diri kita tidak ada yang kekal, cepat lambat akan kita tinggalkan atau berpisah dengan diri kita. Keikhlasan inilah yang dapat meringankan rasa penderitaan yang kita alami karena kita telah paham benar akan kehendak Hyang Widhi. Bersembahyang juga dapat menentramkan jiwa karena adanya keyakinan bahwa Tuhan selalu akan melindungi umatNya.

Perbudakan materi juga dapat diatasi dengan bersembahyang karena orang akan dapat melihat dengan terang bahwa harta benda harus dicari dengan Dharma untuk melaksanakan Dharma. Sembahyang dengan tekun akan dapat menghilangkan rasa benci, marah, dendam, iri hati dan mementingkan diri sendiri, sehingga meningkatkan cinta kasih kepada sesama. Membenci orang lain sama saja dengan membenci diri sendiri karena Jiwatman yang ada pada semua makhluk adalah satu, bersumber dari Tuhan, seperti yang diajarkan dalam ajaran Tat Twam Asi. Kemudian dengan sembahyang kita dimotivasi untuk melestarikan alam karena bersembahyang membutuhkan sarana yang berasal dari alam, seperti bunga, daun, buah, sumber mata air, dan sebagainya.


         B. SARANA BERSEMBAHYANG

Dalam bersembahyang kita pasti memerlukan sarana untuk sembahyang, adapun sarana yang dibutuhkan adalah sebagai berikut.  

      1.     Canang Sari
”Canang sari inggih punika sarin kasucian kayun bhakti ring Hyang Widhi tunggal. Napkala ngaksara kahiwangan-kahiwangan.”
 Canang sari yaitu inti dari pikiran dana niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat kepada Hyang Widhi ketika ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian  (lontar Mpu Lutuk Alit)

Canang sari adalah suatu Upakāra /banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen/persembahan, segala Upakāra  yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di lengkapi dengan canang sari, begitu pentingnya sebuah canang sari dalam suatu Upakāra /bebanten. Apakah sebenarnya makna yang terkandung dalam sebuah canang sari ?

Canang sari sebagai lambang angga sarira serta hidup dan kehidupan. Yaitu:
a.     Ceper. Ceper adalah sebagai alas dari sebuah canang
b.     Beras. Beras atau wija sebagai lambang/nyasa Sang Hyang Ātma  
c.      Porosan. Sebuah Porosan terbuat dari daun sirih, kapur/pamor, dan jambe atau gambir sebagai lambang/nyasa Tri-Premana, Bayu, Sabda, dan Idep (pikiran, perkataan, dan perbuatan).  
d.     Tebu dan pisang. Di atas sebuah ceper telah diisi dengan beras, porosan, dan juga diisi dengan seiris tebu dan seiris pisang..
e.      Sampian Uras. Sampian uras dibuat dari rangkaian janur yang ditata berbentuk bundar yang biasanya terdiri dari delapan ruas atau helai,  
f.       Bunga. Bunga adalah sebagai lambang/nyasa, kedamaian, ketulusan hati.
g.     Kembang Rampai. Kembang rampai akan ditaruh di atas susunan/rangkaian bunga-bunga pada suatu canang  
h.     Lepa. Lepa  atau boreh miyik adalah sebagai lambang/nyasa sebagai sikap dan prilaku yang baik.
i.       Minyak wangi. Minyak wangi/miyik-miyikan sebagai lambang/nyasa ketenangan jiwa atau pengendalian diri, minyak wangi biasanya diisi pada sebuah canang.
Canang pada dasarnya sebagai wujud dari perwakilan kita untuk menghadap kepada-Nya. Kalau kita dapat meresapi dan menghayati serta melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti apa yang terkandung dalam makna Canang sari di atas, pasti bhakti kita akan diterima oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dan kita dapat mengarungi kehidupan ini dengan damai sejahtera sekala niskala.
     2.     Air (Tirtha)
Air merupakan sarana sembahyang yang penting. Ada dua jenis air yang dipakai pada waktu sembahyang, yaitu air untuk membersihkan mulut dan tangan dalam persiapan sembahyang, dan air yang nantinya berfungsi sebagai air suci atau tirtha.Tirtha inipun ada dua macam yaitu tirtha yang didapat dengan memmohon kepada Tuhan dan tirtha yang dibuat oleh pandita / pinandita dengan puja mantra.
Beberapa istilah:
·        Odaka; adalah air dalam arti biasa, dapat dipergunakan untuk mencuci tangan, berkumur, minum, sebagai pelepas dahaga, dan sebagainya.
·        Tirtha; adalah air yang telah disucikan. Kesuciannya bias diperoleh dengan jalan dimantrai oleh orang yang berwenang dan bias pula dengan jalan mengambil di suatu tempat tertentu disertai upacara keagamaan. Yang terakhir ini di beberapa tempat disebit juga wangsuhpada.
Penggunaan Tirtha:
*    Yang berfungsi sebagai penyucian terhadap tempat, bangunan-bangunan, alat-alat upacara ataupun diri seseorang. Tirtha ini diperoleh dengan jalan puja mantra para pandita/pinandita, misalnya tirtha pelukatan, tirtha pabersihan, prayascita, byakaon, pasupati, tirtha pemlaspas, dsb.
*    Yang berfungsi sebagai penyelesaian  dalam upacara persembahyangan. Umumnya tirtha ini dimohon di suatu pelinggih utama pada suatu pura atau tempat yang dianggap suci. Tirtha ini sering disebut dengan tirtha wangsuhpada.
*    Yang berfungsi sebagai  penyelesaian upacara kematian, misalnya: tirtha penembak, pangentas, pralina, dan  tirtha pemanah
Pada intinya maksud dari pemakaian tirtha ini adalah sebagai penyucian secara lahir dan rohani.
     3.     Api (Dupa)

   Secara kasat mata dupa adalah sejenis hio yang dibakar sehingga , berasap dan berbau harum. Wangi dupa dengan nyala apinya adalah lamang deva Agni yang berfungsi sebagai pendeta, pemimpin upacara, sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja, sebagai pembasmi segala kekotoran dan pengusir roh jahat, terakhir sebagai saksi upacara.

Api memiliki peranan penting dalam upacara-upacara  keagamaan. Dalam agama Hindu setiap upacar didahului dengan menyalakan api, baik api dalam arti biasa, maupun api  yang ada dalam diri sendiri. Api bukan hanya dipakai sebagai persembahan, tetapi karena sifat-sifat yang dimiliki menyebabkan api mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
*    Panasnya meresap ke segala pelosok, baik di dalam air, tanah, udara, tumbuh-tumbuhan, ataupun mahluk-mahluk hidup lainnya. Demikian pula asapnya dapat terangkat sendiri sampai ke angkasa memancarkan sinar  yang putih berkilauan, menyebar ke segala penjuru. Sifat-sifat demikian menyebabkan api dipakai sebagai perantara antara bumi dan langit, manusia dengan Tuhan, sesama ciptaan Tuhan dan sebagai pembawa persembahan.
*    Sinar cahayanya, memancar ke segala penjuru menyebabkan api dipakai sebagai penerangan setiap saat, baik siang, malam, ataupun kegelapan.
*    Nyalanya yang berkobar-kobar akan membakar apa saja yang dilemparkan kepadanya, sehingga dianggap sebagai pembasmi noda, malapetaka dan penderitaan.
*    Api dengan sebutan deva Agni adalah deva atau sinar suci Tuhan yang selalu dekat, dapat dilihat dengan nyata oleh manusia menyebabkan api dianggap sebagai saksi dalam kehidupan.
*    Api selalu dinyalakan di rumah tangga sehingga disebut Grhapati yang artinya  pimpinan atau raja dalam rumah tangga
Perwujudan Api
ü Dupa; api dengan nyala serta asap yang kecil tetapi jelas. Tergolong dalam ini adalah peasepan dan sejenisnya. Biasanya dicampur dengan wewangian sehingga memberikan aroma yang dapat menenangkan pikiran.
ü Dipa; adalah api dengan nyala yang memancarkan sinar cahaya yang terang benderang. Misalnya, api dari lilin, lampu,  lampu listrik dan sejenisnya.
ü Obor; api dengan nyala yang bsar berkobar-kobar. Termasuk jenis ini adalah obor, dari perakpak, tombrog (obor dari bambu), dsb.

     4.     Bija
Bija disebut juga gandaksata, berasal dari ganda dan aksata, artinya biji padi-padian yang utuh dan berbau wangi. Oleh karena itu hendaknya menggunkan beras yang masih utuh, dicuci bersih, dicampur dengan wangi-wangian. Misalnya dicampur dengan air cendana dan bunga yang harum. Bija dianggap sebgai simbol benih yang suci anugrah dari Tuhan dalam wujud Ardhanaresvari. Pemakaiannya hampir sama dengan pemakian tirtha yaitu ditaburkan pada tempat bangunan yang dipergunakan dalam suatu upacara  sebagai simbol penaburan benih yang suci yang akan memberikan kesucian.
Pemakaian pada saat selesai sembahyang akan diletakkan diantar kedua kening. Tempat ini dianggap sebagai tempat mata ketiga (cudamani). Penempatan  bija di sini diharapkan menumbuhkan dan memberi sinar-sinar kebijaksanaan kepada orang yang bersangkutan.

Yang diletakkan di pangkal tenggorokan sebagai simbol penyucian  dengan harapan agar mendapatkan kebahagiaan. Kemudian ditelan sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.